Bareskrim Polri Selidiki Dugaan Korupsi Proyek PLTU Kalimantan Barat

Jakarta - Direktorat Tindak Pidana Korupsi (Dittipidkor) Bareskrim Polri kini tengah menyelidiki kasus dugaan korupsi dalam proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) 1 Kalimantan Barat. Dugaan tindak pidana ini berlangsung dari tahun 2008 hingga 2018.
Menurut Wakil Direktur Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Polri Kombes Arief Adiharsa, status kasus ini telah ditingkatkan menjadi penyidikan. Keputusan tersebut diambil usai gelar perkara oleh penyidik pada Selasa, 5 November 2024.
"Polri telah meningkatkan status penyelidikan menjadi penyidikan atas dugaan tindak pidana korupsi dalam pembangunan PLTU 1 Kalimantan Barat (2×50 MW) tahun 2008 sampai dengan 2018 yang menyebabkan proyek tersebut mangkrak atau tidak dapat dioperasikan," ungkap Arief dalam keterangan tertulisnya, Rabu, 6 November 2024.
Arief menjelaskan, proyek PLTU tersebut diduga melanggar hukum dengan adanya penyalahgunaan wewenang, yang akhirnya mengakibatkan kegagalan proyek sejak tahun 2016 dan membuatnya tak dapat dimanfaatkan.
"Pada tahun 2008, lelang pembangunan PLTU 1 Kalbar 2×50 MW dilaksanakan dengan sumber anggaran dari PT PLN (Persero). Setelah proses lelang, KSO BRN ditunjuk sebagai pemenang," jelas Arief.
Lebih lanjut, Arief memaparkan bahwa KSO BRN, sebagai pemenang lelang, tidak memenuhi kriteria dalam prakualifikasi dan evaluasi administrasi serta teknis. Kemudian, kontrak proyek ini ditandatangani pada 11 Juni 2009 antara RR, Direktur Utama PT BRN yang mewakili konsorsium BRN, dan FM, Direktur Utama PT PLN (Persero).
"Nilai kontrak ini sebesar USD 80 juta dan Rp507 miliar atau sekitar Rp1,2 triliun dengan nilai tukar saat ini," jelas Arief.
PT BRN kemudian mengalihkan seluruh pekerjaan proyek PLTU 1 Kalbar ke pihak ketiga, yakni PT PI dan QJPSE, perusahaan energi asal Tiongkok. Namun, pelaksanaan proyek oleh pihak ketiga tersebut tetap berakhir dengan kegagalan dan proyek tak dapat dimanfaatkan sejak 2016.
"Menurut laporan BPK RI, terdapat indikasi kerugian negara sebesar USD 62,410 juta dan Rp323,2 miliar," tutup Arief.
Penulis: Febry Silaban